Mengutip By. by Dede Rosyada
Guru adalah tulang punggung pendidikan, formal maupun non formal. Maju mundurnya Sekolah dan madrasah, sangat tergantung pada profesionalisme para gurunya. Sebaik-baik input calon siswa sekolah/madrasah jika didampingi para guru yang tidak profesional, tidak akan mampu menghantaran mereka menjadi siswa-siswa berprestasi, cerdas dan memiliki daya saing yang kuat. Oleh sebab itu, UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mendefinisikan guru sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah[2]. Pengertian ini membatasi guru dalam dua ranah yang sangat spesifik, yakni bahwa guru adalah guru pada pendidikan formal. Dengan demikian, para pendidik di pendidikan non formal tidak disebut guru. Mereka memiliki sebutan lain yang spesifik, seperti tutor, trainer, atau sebutan-sebutan lain yang lazim di pesantren, pendidikan diniyah dan juga di majelis ta’lim. Kemudian, guru juga hanya digunakan untuk para pendidik pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan menengah, sementara untuk pendidikan tinggi memiliki sebutan lain yaitu dosen untuk pendidikan tinggi formal, atau sebutan lain untuk pendidikan tinggi non formal.
Guru memiliki tugas yang amat besar, yakni mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Tugas pertama yang sangat ditekankan dalam undang-undang adalah mendidik yang dibedakan dari tugas guru mengajar. Mendidik dan mengajar memiliki konsep yang berbeda, kendati tidak bisa distratifikasi bahwa mendidik lebih penting dari pada mengajar atau sebaliknya. Dengan berkembangnya konsep constructivism dalam pembelajaran, memang berubah pula konsep mengajar, karena guru tidak boleh menguasai kelas untuk mentransformasikan ilmu dan pnegetahuannya pada para siswa, karena kalau guru mulai berceramah, harus diyakini bahwa banyak siswa yang masih sedang memikirkan fokus lain di luar pelajaran yang dia sampaikan. Dan apakah siswa sedang membutuhkan apa yang diajarkan guru, dan masih banyak pertanyaan yang pada ujungnya, biarkan siswa mempelajari bahan-bahan ajar yang disediakan, dan guru hanya mengarahkan fokus pelajaran mereka, dan mendampingi para siswanya belajar, lalu mengarahkan agar siswa menyimpulkan sendiri pengetahuan yang mereka pelajari pada hari itu, atau mereka latih bersama teman-teman kelas mereka yang didampingi oleh guru.
Dengan demikian, mengajar kini berubah konsep menjadi empat variabel utama, yakni bahwa mengajar adalah pekerjaan intelektual, mengajar adalah pekerjaan yang sangat variatif, mengajar adalah sharing, dan mengajar adalah pengembangan bahan yang terus menantang.[3]Mengajar adalah pekerjaan intelektual, yakni bahwa guru harus terus mengembangkan pengetahuannya dalam bidang ilmu yang menjadi tanggung jawabnya, baik melalui penelitian, penulisan paper, diskusi, seminar dan yang sebangsanya, sehingga tidak tertinggal dari pengetahuan yang bisa diakses oleh para siswanya. Dan mengajar adalah pekerjaan variatif, bukan semata mendampingi, mengawasi para siswanya belajar, tapi juga memvisualisasi teori-teori yang dipelajari, baik di laboratorium mauoun di tempat lainnya, bahkan guru disarankan untuk melakukan membawa siswa ke dalam konteks yang sebenarnya dari pelajaran yang mereka pelajari lewat teknik Contextual Teeching and Learning (CTL), dan bahwa mengajar adalah sharing, yakni siswa harus sharing satu sama lain, dan dalam beberapa keadaan justru guru yang harus sharing pada siswanya, jangan biarkan pula siswa menyimpulkan sendiri tanpa validasi dari guru. Dan terakhir guru harus terus mengembangkan bahan ajar bagi para siswanya agar mereka tidak tertinggal oleh perkembangan sains di dunia, setidaknya bisa mengikuti perkembangan-perkembangan yang ada pada berbagai asesmen atau bahkan perkembangan yang dibutuhkan dunia kerja.
Sumber Link :
Link: http://dederosyada.lec.